Cinta Monyet
Apa itu cinta monyet?
Waktu itu gue masih SD dan gue masih bengong saat denger dua kata itu pertama kali dari mulut nyokap gua : cinta monyet.
“Tapi aku kan suka ama dia, Ma.” Gue ngomong ke nyokap.
“Iya, itu namanya cinta monyet. Cinta-cintaan waktu kecil.” Nyokap gue ngomong lagi dengan muka yang tambah dibuat serius.
“Cinta-cintaan yang gak serius. Main-main.” Nyokap ngelanjutin. Dia ngomong dengan nada seolah mengatakan kebenaran yang sudah lama ditutup-tutupi, seolah-olah dia bilang, “Za, sebenernya kamu itu cewek, alat kelamin kamu itu terbuat dari kentang dikasih lem.”
Dan ini kebenaran yang dia coba untuk tegaskan : waktu kita cinta ama orang zaman SD, cinta itu namanya cinta monyet. Main-main doang.
Gue masih bengong.
Kenapa namanya cinta monyet?
Agak tersinggung juga gue disamain dengan monyet. Waktu itu walaupun bulu pantat ampe keluar-keluar dari celana, gue gak bisa disamain ama monyet! Gue ngerasa kalo suka ama nih cewek sama seperti orang dewasa suka dengan orang dewasa lainnya, gak kayak monyet.
Emang kalo anak SD pacaran kerjaannya nyari kutu?
Kenapa juga harus dibedain?
Jawaban itu gue temuin waktu kelas 5 SD.
Waktu itu gue sempet beberapa lama nyuri-nyuri pandang ke salah seorang cewek bernama Sheril. Ketika itu gue menyadari kalo gue suka ama dia.
Hal pertama yang berubah semenjak gue naksir Sheril adalah semua yang berhubungan dengan penampilan. Gue yang dulunya bocah ingusan pake celana baggy dengan rambut belah pinggir dan selalu riang gembira menjadi… bocah ingusan pake celana baggy dengan rambut belah pinggir dan selalu riang gembira yang sedikit rapi.
Gue jadi sering latihan di depan kaca sambil memerhatikan gaya rambut belah pinggir yang menjadi ciri khas gue. Gue mengangkat alis dan berlatih mengucapkan kata-kata seperti, ‘Hai Sheril. Udah ngerjain pe-er?’ Nada yang gue coba untuk hadirkan adalah nada seperti laki-laki macho di film-film SCTV itu. Tapi kenyataannya, ini adalah masa-masa di mana suara gue masih bernada tinggi, tipis, dan terdengar seperti perempuan. Engga jarang setiap kali selesai nelpon buat pesan-antar Pizza Hut, orangnya pasti selalu bilang,”Kurang lebih setengah jam lagi kami antar, Mbak Reza.”
Setiap pagi sebelom berangat ke sekolah, pasti gue masuk ke kamar nyokap mencari-cari parfum. Seperti seorang ahli kimia, gue campur satu parfum dengan yang lainnya, tapi gue gak tau kalo satu parfum dicampur dengan parfum lainnya baunya bisa lebih buruk dari bangkai monyet purbakala.
Bahkan sampe ke sampo pun jadi lebih complicated. Di kamar mandi rumah ada sampo Deedee gue, ada sampo Sunsilk nyokap, dan ada sampo Clear bokap. Dalam semangat meraih cinta (monyet), gue pun mencampurkan ketiga sampo tersebut ke kepala gue. Walopun reaksi kimianya bisa membuat gue bermutasi menjadi mutant, untung aja gue gak kenapa-napa.
Jadilah gue dateng ke sekolah lebih rapi. Lengkap dengan bau semerbak puluhan parfum (dan kepala yang terus-terusan digarukin). Semua makeover besar-besar ini demi seorang bernama Sheril.
Sekitar pertengahan tahun ajaran, rambut gue menjadi sedikit panjang. Tukang cukur langganan gue waktu itu adalah tukang cukur murah, yang motong rambut dengan motong rambutan pun gak bakal ada bedanya. Pegawainya juga kakek-kakek yang gak punya kerjaan lain selaen maen gaple sambil makan singkong.
Gue pun sadar, kali ini gue harus memotong rambut dengan gaya, ya, semua ini agar Sheril paling engga mau melayangkan matanya ke arah gue. Gue mengutarakan niat suci ini kepada nyokap.
“Ma, aku mau potong rambut ke salon.”
“Ke salon?” Nyokap nanya dengan alis dinaekin.
“iyah ke salon.”
Wajahnya menahan ketawa. Mungkin ada yang salah ama gue yang selama ini bahagia potong rambut di barber shop deket rumah, sekarang tiba-tiba minta ke salon. “Pa, si Reza mau ke salon nih!” Dengan sedikit cekikikan nyokap ngomong ke bokap yang kebetulan lagi lewat.
“Haah. Ngapain ke salon?!”
“Yah, tapi, pa…,” gue mencoba menjelaskan.
“Gini aja deh…mendingan…” Bokap menghentikan kalimatnya.
Gue tau kata-kata yang keluar dari mulut dia selanjutnya pasti gak beres.
“mendingan, papa aja yang motong rambut kamu!” lanjut bokap dengan senyum pepsodent.
God, this is the worst.
Gue berfikir mungkin bokap sedang mengalami krisis paruh baya dan satu-satunya cara mengatasinya adalah dengan melakukan hal baru yang menegangkan seperti memotong rambut anak sendiri.
Di sisi lain, gue juga berkeyakinan bahwa setiap orang berhak diberi kesempatan. Seperti yang gue baca di majalah Bobo waktu itu : “Beri kesempatan untuk orang lain.” Tapi bokap itu bukan orang lain, dia adalah orang ajaib yang tindakannya sewaktu-waktu bisa di luar norma dan akal sehat.
Akhirnya, bokap pun menjadi mencukur rambut gue. Di suatu sore, akhirnya, gue duduk dengan taplak meja yang di paksakan menjadi penutup leher ke bawah, bokap berdiri di belakang. Menarik dan menghembuskan napas. Mukanya serius. Berdiri tidak kalah serius di sebelah dia, adalah nyokap gue yang dijadikan asisten pemotong rambut untuk hari ini. Seperti seorang dokter yang lagi melakukan operasi rumit, dia berkata,”Gunting.”
Asistennya memberikan gunting.
“Cukuran.”
Asistennya memberikan cukuran.
Ternyata gue ngerasa lumayan nyaman. Toh bokap dulu juga di kenal sebagai playboy yang jago ngejaring wanita, jadi mungkin dia ngerti gimana seharusnya bentuk rambut yang membuat cewek klepek-klepek-ngek-ngok-alalabumbum.
Akhirnya, dengan gaya penuh kepahlawanan, dia selesai memotong rambut yang di tandai dengan memberikan gunting kepada asistennya. Seperti dokter yang baru saja melakukan operasi pembuluh darah otak yang rumit, dia menghapus keringat dari keningnya. Gue masih ngerasa kayak kambing kurban.
Dia diem.
Asistennya diem.
Gue diem.
“Pa?” gue mengeluarkan suara.
“Ya?”
“Kok diem?”
“Uhhh. Ada yang salah dikit nih” bokap ngomong sambil mengelus sisi samping belakang rambut gue.
“Salah?”
Dia masih mengelus sisi itu.
“Pa?”
“iya, tapi uhhh…dikit kok.” Seolah-olah lampu ajaib yang ngeluarin jin, dia masih ngelus-ngelus sisi rambut gue.
“Kaca?” gue tiba-tiba minta.
Bokap diem.
“Mana kacanya?” ulang gue.
“Ah, gak papa, kok.”
“Kacanya mana?”
“Udah gak usah,jangan.”
“Pa…, kaca?”
“JANGAN!!!”
“…..”
Beberapa detik kemudian gue berhasil merebut kaca, lalu dengan menggabungkan kedua kaca itu gue bisa melihat jelas sebuah pitak sebesar benua Eropa mangaga ajaib. Oh-tidak-tuhanku.
Gue jerit.
Tiga hari kemudian, di sinilah gue sekarang. Duduk di pojok belakang kelas, pelajaran matematika. Mencoba mencuri perhatian dari Sheril dengan ketek semerbak sejuta parfum dan rambut yang sedang mengalami gejala kebotakan dini.
“Za, itu rambut kamu kenapa?” guru matematika gue nanya.
Berkata jujur, gue bilang, “Ini papa saya yang buat, Bu.”
“Papa kamu?” Suaranya pelan dan lembut.
Muka guru gue seperti penuh dengan simpati. Mungkin dia nyangka gue di siksa di rumah sama bokap gue sampe kepala jadi pitak gini kayak di buku A Child Called It. Bukan engga mungkin kalo sebentar lagi rumah gue bakal disantronin orang-orang dari Komisi Perlindungan Hak Anak.
“Iyah, Bu.” Gue mengiyakan.
“Papa kamu yang motong?”
“Iyah. Pake gunting rumput kali.” Gue ngomong kalem.
Terlepas dari bau bunga bangkai tujuh rupa, rambut gatel, dan kepala pitak yang bisa jadi landasan helikopter, gue tetep kukuh dalam usaha gue merebut hati si cewek bernama Sheril ini. Kelas 5 SD sebentar lagi usai, dan gue harus bertindak cepat.
Suatu hari, seperti mendapat pencerahan luar biasa dan semangat yang membakar jiwa raga ini, gue pun memutuskan untuk melakukan lompatan besar dalam kegiatan naksir-naksiran gue dengan Sheril.
Gue memutuskan untuk menulis surat.
Lebih spesifik lagi : Surat cinta.
Lebih spesifik lagi : Surat cinta goblok.
Gue pun merobek kertas dari buku, ngambil spidol warna-warni (karena gue rasa spidol warna-warni bisa ngasih kesan lebih ‘gembira’ waktu dia baca surat cinta itu). Sebelum gue menulis surat cinta itu, gue berfikir bahwa untuk membuat surat cinta yang indah itu harus di tulis dengan menggunakan bahasa inggris. Yang jadi masalahnya : satu-satunya bahasa yang gue bisa adalah bahasa Indonesia, itu aja masih pas-pasan di rapot.
Akal gue gak kalah canggih.
Dibantu TV, gue pun mulai nulis surat maut itu : Dear Sherli….. Gue berhenti nulis dan berfikir , gue tau kalimat selanjutnya adalah ‘Aku memikirkanmu setiap malam’ dalam bahasa inggris. Gue tau bunyinya, tapi gue gak tau cara nulisnya.
Akhirnya gue coba tulis.. I thing (ini aja udah salah) of you every… Gue stop dan mikir gimana cara nulis malam dalam bahasa inggris?
Untung ada film Knight Rider yang siap menyelamatkan! Gue piker, pasti malam itu tulisannya knight seperti di Knight Rider. Jadi gue tulis : I thing of you every knight. Yang artinya (tanpa sepengetahuan gue saat itu) tentu aja jadi ‘Aku benda dari kamu setiap ksatria’.
Beberapa jam kemudian surat cintanya pun jadi.
Surat cinta pertama gue.
Di dalam pikiran gue, tentu isinya romantis, manis, dan amis. Tapi kenyataannya justru dua halaman surat cinta paling bego ditulis dalam bahasa inggris yang salah setiap grammar dan kosakata. Kalo Shakespear baca tuh surat bisa mati gemes dia.
Pas jam istirahat pelajaran dan engga ada orang yang ngeliat, dengan penuh kehati-hatian gue deketin tas Sheril dan gue selipin tuh surat ke dalam tasnya. Sekarang tinggal menunggu di rumah sambil sunyum-senyum sendiri memikirkan betapa bahagianya Sheril membaca surat romantis dalam bahasa inggris.
Keesokan harinya, gue duduk di lantai rumah sambil nyiapin buku untuk sekolah. Waktu ngeluarin buku dari tas, terlihatlah benda kotak, berwarna pink, dan ringan.. Itu adalah kertas surat dan di depannya bertuliskan sebuah tulisan manja :
For Reza.
Waw!
Alamak!
Amigos!
Aduhai!
Itu adalah surat balasan dari Sheril.
Layaknya seseorang yang baru menemukan emas yang di tinggal oleh raja Mesir, gue langsung memegang kertas tersebut dengan tangan gemetaran. Hidung kembang-kempis. Dada deg-degan. Punggung panuan. Hehe…
Ini adalah yang gue nantikan.
Sebelom gue pipis di celana, gue buru-buru merobek sampul surat tarsebut dan mengeluarkan isinya. Gue senyum-senyum najong. Lalu gue baca isinya…
‘Dear Reza.
Makasih udah ngirimin gua surat. Tapi sebelomnya gua mau kasih tau lo, kalo gua itu dulu tinggal lama di Inggris. Dan surat lo itu banyak banget bahasa inggris yang salah di dalamnya, gua mau benerin ya. Pertama-tama, thing yang lo tulis itu, mungkin maksud lo, tuh, think kali yah. Kalo thing itu artinya benda dan think itu artinya berfikir. Terus knight, itu pasti maksudnya night…..’
Mampus.
Gue bengong.
Keringet dingin.
Isi surat itu semuanya pembenaran surat cinta gue oleh Sheril. Hebat, sekarang dia bikin seolah-olah surat yang gue tulis ke dia itu adalah tugas bahasa inggris yang bakal dia koreksi. Bagus.
Ini adalah cinta pertama gue dan gue bakal cacat secara psikologis.
Waktu suratnya di balik ada tulisan dari Sheril lagi,
‘PS : Cowok gue gak suka lo nulis surat kayak gini. Dia mau ketemu lo di California Fried Chicken deket rumah lo hari Sabtu pukul 4 sore.’
Sip.
Sekarang, gak cuman gue di ketawain abis-abisan gara-gara surat geblek itu. Gue juga bakal digebukin ama anak SD yang kecepetan puber di dalam sebuah restoran fast food. Yippie. Semua gara-gara cinta monyet itu. Sekarang gue yakin, gue bakal cacat secara psikologis.
Untungnya, gue gak jadi digebukin. Gue akhirnya bersikap sok cool seolah-olah gak pernah baca tuh surat balesan, dan semuannya itu gak pernah terjadi. Sampe sekarang, Sheril gak tau, kalo gue udah baca surat itu. Satu hal yang gue sadarin, gue jadi sedikit ngerti kenapa kisah ‘cinta’ waktu zaman SD itu disebut cinta monyet. Seperti gue dulu, yang gak peduli bisa bahasa inggris ato engga, gak peduli reaksi dia bakalan kayak gimana, gak peduli rambut gatel, ato bau badan jadi kayak bunga kuburan. Hanya satu yang gue dapet : gue dapet perhatian orang yang gue suka.
Mungkin, orang dewasa melihat ini bodoh, seperti monyet. Tapi gue rasa ini adalah problem yang ada di orang dewasa. Problemnya, adalah orang dewasa gak lagi kayak anak kecil. Untuk cinta sama orang aja, yang namanya orang dewasa harus melalui banyak pertimbangan : agama harus yang sama, harus punya kerjaan tetap, harus bisa ngebikin nyaman, harus bisa deket sama orang tua… bla bla bla bla
Kemana gaya cinta-cintaan zaman SD dulu?
Kemana sikap masa bodoh, dan hanya pentingin satu : saya suka sama dia.
Hmmm… Kalo gitu, orang dewasa bisa disebut sebagai gaya cinta yang lebih primitive dari cinta monyet, dong?
Mungkin, itu seharusnya disebut… Cinta Dinosaurus.








0 Response to "Cinta Monyet"
Post a Comment